Kamis, 30 Juli 2009

KETIKA AZAN MEMANGGIL, KUKEJAR ALLAH DENGAN SEPEDA

Hari meranggas petang, para pekerja mulai meninggalkan tempat
kerjanya. Bis-bis kota dan metro mini sarat penumpang berhenti di
banyak halte dan persimpangan. Wajah-wajah lelah terlihat menuruni
tangga bis kota.

Sukardi, siap menghadang wajah-wajah lelah ini di perempatan
Rawa Badak, Tanjung Priok. Pria bertubuh tinggi besar, berkulit
gelap dengan sorot mata tajam, serta dilengkapi topi "baretta"
yang menahan teriknya matahari Jakarta, menantikan mereka di atas
sadel sepedanya.

Ia telah pernah bekerja pada sebuah pabrik kaca milik investor
Jepang di bilangan Pulo Gadung, Jakarta. Pekerjaan itu digeluti
nya selama empat tahun. Namun kini ia harus meninggalkan peker
jaannya itu, karena ia pernah absen beberapa lama, karena sakit
yang dideritanya. Karena itulah ia di-PHK. Perusahaan tak mau
rugi, tak mau pula menanggung biaya kesehatan ... maka PHK-lah
jalan keluarnya.

Pak Sukardi siap menerima kenyataan ini, karena keyakinannya
telah tertempa oleh nilai Islam yang diyakininya. "Saya yakin,
rejeki mah Allah yang ngatur ..." Berangkat dari keyakinan yang
tulus itu, serta menyadari keterbatasannya yang tidak lulus
sekolah dasar, ia banting stir ke usaha yang tak pernah ia impi
kan sebelumnya: menjadi pengemudi ojek! Keyakinan dan usaha itu
memang membuahkan hasilnya, "Setiap hari paling sedikit saya bisa
men gantongi tujuh ribu perak. Alhamdulillah, bisa untuk makan
dan membiayai anak-anak ..." Ia mempunyai empat orang anak. Yang
paling besar di SLTA, dua orang di SLTP, yang paling kecil masih
di SD. "Sekarang ini, kalau kita nggak kuat mendidik anak dengan
agama, gawat! Banyak sekali gangguannya. Kita sering dengar ada
anak gadis hamil duluan sbelum nikah. Nauzu biLlah min zalik! Itu
kesalah orang tuanya yang tidak mendidik dengan pelajaran agama."

Kiranya Pak Sukardi benar, arus kejahiliyahan memang tengah
merayap di sela-sela kehidupan kita. Arus itu melilit dan meracu
ni semua lapisan sosial dengan segala perwujudannya. Tidak hanya
meracuni si kaya, tapi juga si miskin. Pak Sukardi tak ingin
terlindas arus itu. "Saya tanamkan Islam pada anak-anak melalui
pengajian dan halaqoh di Masjid, dan saya "ngasih" contoh pada
mereka. Misalnya kalau sholat subuh, kita bangunkan mereka, kita
ajak ke masjid ..."

"Habis, kita hidup ini untuk apa sih kalau bukan untuk iba
ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada Ku.
Jadi semua hidu kitaini untuk ibadah. Bekerja ibadah, belajar
ibadah, pokoknya semua lah! Untuk apa hidup di dunia ini kalau
cuman bergelimang harta tanpa tujuan yang jelas? Dan kekurangan
material bukanlah halangan untuk memilih tujuan hidup yang benar
dan pasti!"

Keyakinan itulah yang agaknya terpatri kuat dalam jiwa tukang
ojek kita ini. Maka ketika azan memanggil, ia tak menyia-nyiakan
waktu untuk tetap berada dalam tujuan utama hidupnya. Ia bergegas
pulang ke rumah menunaikan kewajibannya di masjid dekat rumahnya.
"Kalau ngedenger azan terus kita belum sholat, rasanya nggak
enak, kayak punya utang saja. Hati gelisah, pengennya mau pulang
melulu ...
padahal lagi ada penumpang."

"Kenapa mesti pulang segala Pak? Bukankah masjid di sekitar
Tanjung Priok ini banyak, di setiap jalan ada masjid?"
"Bukan begitu ... celana saya kotor, baju juga bau keringet ...
Masak mau "ngadep" Alloh, pakai celana dan baju kotor? Sedangkan
kalau mau ngadep Pak Lurah aja, kita rapih, ya nggak?"

Pak Sukardi sudah menganggap, ibadah baginya merupakan kebu
tuhan. Ia merasa punya beban jika kewajiban terhadap Alloh belum
ditunaikan. Tidak hanya itu saja, ia bahkan berusaha mendirikan
kewajiban tersebut dengan cara yang terbaik. "Pernah ada teman
saya yang "ngetawa'in" dan ngejek saya, karena saya pakai payung
waktu "narik" di siang bolong. Waktu itu bulan Ramadhan. Saya
diamkan saja. Habis, dari pada saya batal puasa karena
kepanasan?" ceritanya tentang pengalamannya menarik ojek di bulan
suci Ramadhan. "Saya menyayangkan teman-teman saya yang tidak
puasa di bulan Ramadhan. Padahal kita bisa ngatur waktu untuk
menjaga dan mempertahankan puasa kita. Misalnya kalu narik di
bulan Ramadhan, sebaiknya dari pagi sampai sekitar jam sebelasan
lah, jangan lebih. Habis itu kita pulang, sholat Zuhur, tidur di
rumah sampai Ashar. Habis Ashar kita bisa narik lagi sampai
malem. Itu 'kan nggak terlalu menguras tenaga? Kita bisa tetap
puasa, udah gitu dapet rejeki lagi. Alhamdulillah, selama saya
narik ojek ini, saya nggak pernah "bolong" puasa, bukannya nyom
bong nih!"

Pernah suatu hari ia mendapat penumpang, dan sudah menjadi
kebiasannya ia selalu mengajak ngobrol orang yang memerlukan
jasanya. Pembicaraan berkisar pada soal hujan yang sudah lama
tidak turun, entah bagaimana tiba-tiba orang itu mengatakan bahwa
berkat kecanggihan, teknologi sekarang hujan sudah bisa dibuat.
Pernyataan ini langsung disergah oleh Pak Sukardi. "Hujan mah,
biar gimana, buatan Alloh, Pak! Manusia nggak bisa bikin hujan.
Kita jangan sombong dengan ilmu pengetahuan kita, sebab kalau
dibandingkan dengan ilmunya Alloh, ilmu kita mah nggak ada arti
nya. Kita manusia cuma bisa berusaha, Alloh yang menentukan. Kita
aja yang ngaku-ngaku bisa bikin hujan buatan, padahal semuanya
dari Alloh."

begitu saja. Ia selalu menyelipkan da'wah nilai-nilai Islam
barang sepatah dua patah kata. "Kita ini harus mengajak manusia
ke jalan Alloh. Kita ummat Islam semua ini, adalah da'i. Balighu
'anni walau ayah. Sampaikan dariku walau hanya satu ayat, begitu
kata Nabi Muhammad."ketika ditanya tentang aktifitas keislaman
nya, dan dari mana ia memperoleh bahan-bahan yang up-to-date
untuk berda'wah, ia mengatakan:
" Saya tiap malem Selasa, selalu ngaji di Masjid Al-Mukaromah di
Jalan Mangga. Saya pergi sama anak saya yang di SMA, pakai sepeda
ini. Alhamdulillah, sepeda ini disamping bisa untuk nyari duit,
juga bisa dipakai untuk pergi ngaji ...."

Hari-hari pak Sukardi adalah sepeda dan da'wah, keringat dan
ibadah. Sebuah fenomena yang menyejukkan yang dapat kita saksi
kan di tengah gemuruhnya "pemurtadan" dan pendangkalan aqidah di
mana-mana.

Tidak ada komentar: